Oleh A. Muttaqin
Ahad 5 Maret 2007, direncanakan aku memimpin shalat sunnah dan khatib Gerhana bulan total. Perlu ke tukang cukur, sekedar merapihkan rambut dan menjaga penampilan.
Setengah jam duduk di bangku kayu terasa begitu cepat. Selama itu pula aku mendengarkan cerita Mang Udin sambil ia memangkas rambutku. Tutur katanya halus, lugas, kadang-kadang kedengaran lucu. Mungkin karena aksen Sundanya yang masih kental. Asyik menikmati obrolannya yang polos dan lugu. Padahal seingatku, ini baru kali kedua aku mampir ke kedai cukur miliknya.
Tapi, ia mampu membangun suasana menjadi lebih akrab, seolah kami berdua telah lama kenal. Aku tak mengira, dari cerita perjalanan karirnya sebagai tukang cukur, ternyata, Bayu Sutiono pembaca liputan 6 SCTV yang terkenal itu, adalah orang yang sejak kecil ia kenal, sering dititipikan ibunya di kedai saat ibunya belanja ke pasar.
Tentu, sering ia cukur, sampai pada kisah ia menemukan dompet yang berisi sejumlah uang, ATM, STNK BMW dan SIM yang ia rahasiakan temuannya itu pada rekan kerjanya juga pada isterinya sekalipun. Awalnya aku ragu, karena lelaki ini tinggi besar dan berkumis tebal. Kesanku satu; galak. Bayanganku ternyata meleset setelah mencermati obrolannya yang mengalir wajar.
“Mang, uang satu juta setengah itu, kan lumayan. Kira-kira dapet TV 21 inci loh. Kenapa dikembalikan?”. Aku mencoba merespon ceritanya yang ini. Aku merasa ceritanya memiliki kesamaan pesan dengan pengalamanku beberapa waktu lalu.
Aku mencoba menggalinya lebih jauh. Kuraba hatinya. Kudengar suara nuraninya. Apakah seorang tukang cukur seperti dirinya memiliki daya tahan yang tangguh dalam pergulatan hidup tentang benar-salah. Halal-haram atau entahlah namanya. Tujuanku satu, ingin membuktikan, bahwa kejujuran itu bisa menjadi milik siapa saja dan dapat dicampakkan oleh siapa saja. Kejujuran bukan dominasi pura ustadz, kyai, pendeta, pastor, bhiksu atau sederatan “gelar suci”keagamaan lainnya. Atau justru aku menemukan nilai-nilai sakral itu pada diri Mang Udin, tokohku kali ini.
“Untuk apa den. Enaknya sebentar, sengsaranya seumur-umur”.
“Maksud mamang?“. Aku mulai penasaran dan tertarik. Bukan lagi karena aksen Sundanya itu, tetapi ceritanya mulai menerabas ruang gelap yang dalam. Sisi paling jernih dari perangkat hidup kita. Nurani. Inilah yang aku cari.
“ Kalau saja waktu itu mamang nurutin keinginan, pasti mamang ambil. Tinggal kuras isinya. Lempar dompetnya ke kali, selasai urusan. Tapi kan, kita tahu, dosa dan kesalahan yang ada kaitannya dengan hak orang lain, tidak selesai urusannya hanya pada Gusti Allah. Mamang mah engga sanggup kalau nanti harus berurusan dengan yang punya dompet di akherat nanti”.
Aku tertegun dalam, dalaam sekali. Berhusnuzzhan pada Allah, semoga ini adalah kejernihan dan kejujuran yang bukan basa-basi. Aku mulai mengikat satu persatu pembuktianku atas pesan yang sedang dibangun Mang Udin. Mungkinkah, Mang Udin bukan tukang cukur biasa? Sedikit, perlahan dan hati-hati aku memetik buah hikmah dari setiap tuturnya. Aku melihat kilauan mutiara yang keluar dari orang yang sementara anggapanku sebagai “orang biasa” seperti kebanyakan yang lain.
Dia yang setiap hari hanya bergelut dengan mekanisme kerja gunting, pisau dan sisir itu, apakah memiliki kepekaan dan kecerdasan religi yang setara dengan para filosof dan para cendikia. Bahkan mungkin akan lebih tinggi nilainya jika hanya diukur semata-mata dari jasad fisik Mang Udin. Jika terbukti, menurut logika guru sepertiku, Mang Udin telah berhasil mengartikulasikan nilai-nilai kejujuran dengan sangat jernih dari pengalaman hidupnya tanpa retorika akademis filosofis. Sederhana, jelas, lugas dan tanpa basa-basi yang kaku dan memenjarakan akal.
Padahal di dunia kehidupan yang semakin renta ini, nilai-nilai kejujuran, kejernihan hati, kepekaan sosial sudah semakin jauh ketinggalan dengan semangat hidup individualis yang melesat cepat dengan tolok ukurnya adalah materi. Setiap tindakan selalu ditakar dengan logika dagang; untung rugi. Menolong orang selalu dilihat dengan kaca mata barter. Aku berkesimpulan, sekali lagi jika terbukti, ... Mang Udin telah menjadi makhluk langka.
Aku tidak sabar memuntahkan semua keingintahuanku lebih banyak. Menurutku, Mang Udin harus “kupaksa” ngomong lagi. Baru kali ini seemur hidupku, kuliah akhlak dengan tukang cukur, makanya jangan sia-siakan dia.
“ Cambang cukur tidak?”, aku agak kaget, ah tapi bukan ini omongan yang kumaksud. Dalam benak, ternyata aku begitu hanyut sampai jauh, aku malah bergelut sendiri dengan wacana yang dinarasikan Mang Udin.
”Cukur aja deh “. Jawabku sekenanya.
“Mang, mamang kan hanya nemu di jalan. Mamang bukan mencuri atau sengaja mengambil dari kantong orang itu seperti para copet mencari nafkah “. Aku buru-buru menggiring sisa obrolannya kepada topik yang belum tuntas dikupasnya. Mudah-mudahan masih ada yang dapat kucerna dan membuat hatiku kenyang.
“Apa bedanya?”. Mang Udin balik bertanya, seolah dia telah memegang dan menebak alur fikiranku ke mana akan kuarahkan. Aku berfikir lagi, cerdas juga orang ini.
“Baik mencurinya maupun menemukannya di jalan dompet itu, toh bagi pemiliknya sama-sama kehilangan. Sama-sama dirasakan susahnya. Mengambilnya dengan sengaja, atau tidak mengembalikan kepadanya sebab menemukannya, sama-sama bikin susah orang. Tentu, kita juga akan merasakan kesusuhan jika kebetulan pemilik dompet tersebut adalah diri kita sendiri“. Waw!, semakin kukuh dugaanku, Mang Udin tidak sekedar tukang cukur.
“Lalu kenapa mamang rahasiakan, sampai-sampai isteri mamang ga pernah tahu kalau mamang pernah nemu dompet dengan isinya satu setengah juta beserta embel-embelnya?”. Mudah-mudahan aku puas mendengar jawaban terakhir dari pertanyaanku ini.
Kulihat dari cermin di depanku, Mang Udin tersenyum kecil. Wajahnya masih seperti awal dia cerita, santai.
“Den, mamang sendirian yang tahu saja, udah berat rasanya. Perang batin, antara harus mengembalikan atau diambil saja, kejujuran mamang hampir-hampir kalah. Apalagi kalo mamang cerita sama temen atau melibatkan isteri misalnya, pasti mereka akan ngasih saran yang yang macem-macam. Tambah bingung, yang ini begini, yang lain begitu. Jangan-jangan akhirnya malah nurutin keinginan mereka. Iya kalo sarannya baik, kalo malah nuntut mamang tidak jujur. Ah, ga tahu lah. Yang penting mah, mamang sudah ngembalikan. Rezeki ga ke mana”.
Aku tidak lagi terlalu tertarik bercermin untuk memperhatikan lahiriah setelah dipangkas setelah jawaban terakhir ini. Aku lebih merasa, bahwa merapihkan penampilan batin jauh lebih menentramkan hati dan membawa keberkahan hidup. Kurogoh kantung, kulunasi ongkos pangkas, dan pamit. Aku tahu, di sebelahku, sudah ada pelanggan yang juga ingin dicukur.
Aneh, aku merasa puas atas semua yang dialami Mang Udin melalui ceritanya. Aku seperti berjalan tegak menatap ke depan sambil membawa kemenangan. Lagi-lagi aku menenemukan kejujuran dari tempat yang tidak pernah kuduga. Dan lagi-lagi, kejujuran bisa menjadi milik siapa saja, kapan saja dan di mana saja.
Pengalaman hidup memang bagai madrasah besar yang mengajarkan banyak hal. Tentang hitam-putih, susah-senang, baik-buruk, pasang-surut dan sederet guratan taqdir yang harus kita jalani. Kurikulumya adalah rumah tangga, masyarakat dan alam sekitar. Pelakunya adalah manusia dengan berbagai profesi, karakter dan falsafah hidupnya. Tukang cukur hanyalah sebutan, guru hanyalah sebutan, jendral hanyalah sebutan. Mang Udin memang tukang cukur, tapi menurutku, ia adalah alumni madrasah besar itu yang telah berhasil menerapakan studinya tentang akhlak dan kejujuran. Yang jelas, jiwa dari kurikulum itu hanya satu, Iman.
Haturnuhun Mang Udin.